Sejarah Desa Sidoharjo

Sejarah Desa

Desa Sidoharjo menurut cerita rakyat secara turun-temurun, konon tersebutlah sebuah kademangan Lanjam yang dipimpin oleh seorang Demang bernama Ki Demang Reksodiningrat (masyarakat setempat menyebutnya Mbah Demang Sungkono). Dulunya Ki Demang adalah abdi kesayangan Panji Laras dari Kediri dan dipercaya masyarakat setempat “Peteg” atau makamnya ada di sekitar Kali Panji. Setelah Panji Laras kembali ke Kediri, Ki Demang Reksodiningrat memilih menetap di wilayah Lanjam,dan mendirikan kademangan.

Ki Demang bermaksud untuk memperluas wilayahnya dengan membabad hutan disekitar kademangannya, maka diutuslah keempat putra beliau yaitu putra pertama bernama Ki Sampit (pesareannya ada di area makam Dusun Lanjam), putra kedua bernama Ki Tombrong (pesareannya ada di area makam Dusun Banaran, saat ini tidak dipakai dan biasa disebut mahkaman Tombrong), putra ketiga bernama Ki Ngadon (di percaya petilasannya ada di punden Ngadon depan KUD Sidoharjo), putra keempat bernama Ki Ngare (dipercaya petilasanya ada areal Kepoh, Dusun Tapen).

Ki Sampit membabad hutan terdekat dari wilayah kademangan dengan peralatan seadanya. Beliau bekerja tanpa mengenal lelah, sehingga perlahan-lahan hutan tersebut berhasil dibabad dan menjadi sebuah pemukiman, untuk mengenang peristiwa tersebut maka dinamakan Dusun Lanjam yang artinya perlahan- lahan.

Ki Tombrong membabad hutan di wilayah utara Dusun Lanjam. Ketika Beliau sedang membabad hutan tersebut, turunlah hujan disertai petir yang menyambar tubuh Ki Tombrong, namun karena Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa, tubuh Ki Tombrong tidak terluka sedikitpun. Konon cerita, petir tersebut diikat oleh Ki Tombrong hingga memohon maaf kepada Beliau dan berjanji tidak akan menyambar anak keturunannya, dengan syarat ketika ada kilat, keturunannya berkata “aku wong banaran anak turune Tombrong”. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut diberilah nama Dusun “Banaran” singkatan dari “di emban karo Pengeran” (dilindungi oleh Tuhan).

Ki Ngadon membabad hutan di wilayah timur Dusun Lanjam menggunakan alat bantu berupa wadung (semacam kapak besar) untuk mempermudah pekerjaannya,, sehingga hasil babad hutannya lebih luas daripada kakaknya. Maka Beliau sedikit mengejek kedua kakaknya tersebut, sehingga kedua kakaknya menyumpahinya, jika nanti ketika ada acara sedekah bumi, tidak boleh mendahului Dusun Lanjam dan Banaran. Untuk mengenang peristiwa babad hutan Ki Ngadon menggunakan wadung, dinamakanlah Dusun Wadung. Dan karena malu telah mengejek kedua kakaknya hingga kedua kakaknya tersinggung akhirnya Beliau meminta maaf. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut dinamakan Dusun Malo (karena lidah Jawa kata “malu” bergeser pelafalan menjadi Malo).

Ki Ngare membabad hutan di wilayah hutan paling utara dari Dusun Lanjam yang banyak ditumbuhi pohon kepoh, karena saking lebatnya pohon kepoh yang dibabad sehingga Beliau merasa lapar dan berniat untuk menanak nasi. Namun bekal beras Beliau belum bersih sehingga perlu untuk ditapen (memisahkan beras dari kotoran), untuk mengenang peristiwa tersebut maka dinamakan Dusun Tapen.

Seiring dengan perkembangan zaman, wilayah tersebut membentuk sebuah Desa. Di wilayah utara diberi nama Desa Tapen dan di wilayah selatan diberi nama Desa Sambongrejo, yang terdiri dari tiga Dusun yaitu Dusun Lanjam, Banaran dan Malo. Setelah tahun 1956 Dusun Malo dipecah menjadi dua yaitu Dusun Malo Satu dan Dusun Malo Dua. Namun karena adanya penertiban nama Dusun yang tidak memperbolehkan adanya nama satu, dua dan seterusnya maka diubahlah menjadi Dusun Malo dan Dusun Wadung.

Pada zaman penjajahan Belanda yang kedua, Desa Sambongrejo dan Desa Tapen digabung menjadi satu dan diberi nama Desa Sidoharjo berasal dari kata “Sido” yang artinya “Jadi”, dan kata “Harjo” yang artinya “Makmur”, yang terdiri dari lima Dusun yaitu Lanjam, Banaran, Malo, Wadung dan Tapen.